PASTISIPASI AWAM; SEBUAH LANGKAH AWAL MEMBONGKAR BUDAYA KLERIKALISME DALAM GEREJA DEWASA INI
Oleh Dai Within
I. PENDAHULUAN
Klerikalisme berasal dari kata klerus
yang secara harafiah berarti ‘imam’ atau ‘kaum tertabis’. Dalam pengertian yang
lebih luas, klerikalisme adalah pendewasaan otoritas kaum klerus dan
memisahkannya dari kehidupan umum. Sebagai
fenomena, klerikalisme awalnya lahir sebagai penanda praktik-praktik
penyimpangan dan penyalagunaan kekuasaan hirarkis. Dalam perkembangannya,
klerikalisme bukanlah sekedar sebuah gejala yang diidap kaum klerus, melainkan
juga menggejala dalam diri umat beriman
yang ingin memelihara status quo (kemandegan) dan menikmati kemapanan
semu.
Pada
hakikatnya, klerikalisme merupakan
sebuah sebuah sikap yang memisahkan diri dari umat, memandang umat sebagai
bawahan yang harus siap mendengar
keputusan yang telah diambil , serta cendrung otoriter. Jika sifat imanen menunjuk pada kekayaan
rahmat, maka klerikalisme justru mengacu pada kelangkaan rahmat. Anggota klerus adalah pejabat Gereja yang
menjalankan tugas-tugas yang mutlak perlu dalam himpunan jemaat beriman. Apabila seorang klerus membangun suatu status
khusus untuk mereka sendiri, maka mereka akan terjebak ke arah klerikalisme.
Dalam
makalah ini, titik persoalan yang hendak dibahas ialah bagaimana kaum awam
memainkan perannya dalam membongkar budaya klerikalisme yang telah menggerogoti
kehidupan Gereja. Klerikalisme telah
mengakar kuat hampir dalam keseluruhan aspek kehidupan karena itu perlu dicabut. Ini menjadi tanggung
jawab bersama sebagai umat beriman. Kaum awam harus bisa merombak dan membangun
kembali suatu tatanan baru sesuai dengan
norma yang berlaku dalam Gereja.
Adapun zaman ini menuntut semangat keterlibatan kaum awam
yang tidak kalah besar. Bahkan situasi sekarang ini jelas memerlukan kerasulan
mereka yang lebih intensif dan lebih luas. Sebab makin bertambahnya jumlah umat
manusia, kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, hubungan-hubungan antar
manusia yang lebih erat, bukan saja memperluas tanpa batas gelanggang kerasulan awam; yang sebagian besar hanya terbuka bagi mereka,
melainkan juga menimbulkan masalah-masalah baru, yang menuntut perhatian serta
usaha mereka yang cekatan. Keterlibatan awam dalam kerasulan itu semakin mendesak, karena otonomi banyak
dibidang kehidupan manusiawi, sebagaimana wajarnya, amat banyak bertambah, ada
kalanya disertai suatu penyimpangan dari tata kesusilaan dan keagamaan, serta
bahaya besar bagi hidup kristiani.Selain itu dibanyak daerah, yang jumlah
imamnya sangat sedikit, atau – seperti ada kalanya terjadi – direbut kebebasan
mereka yang sewajarnya untuk menunaikan pelayanan mereka, tanpa karya-kegiatan
kaum awam Gereja nyaris tidak dapat hadir dan aktif. Di sini, awam dituntut
untuk berpartisipasi aktif.
2.
STATUS TEOLOGIS KAUM AWAM
Dalam eklesiologi Konsili
Vatikan II, Kaum awam dibicarakan terkait dengan martabat kristiani tertentu
berkat sakramen pembaptisan. Peristiwa
iman secara personal ketika setiap orang yang dibaptis bersatu
dengan Kristus dan menyebut “Abba” (Bapa) kepada Allah. Martabat demikian yang menunjukkan panggilan ke hidup
suci sebagai kesempurnaan hidup kristiani.
Kedudukan dan martabat paling luas dan mendasar disebut dalam Lumen Gentium
No. 30: “Segala sesuatu yang telah
dikatakan tentang Umat Allh sama-sama dimaksudkan bagi kaum awam pria maupun
wanita, mengingat kdudukan dan perutuan mereka”.
Konskwensi
eklesiologis bagi peran Awam merupakan tugas kerasulan yang sungguh amat
dibutuhkan Gereja demi tugas perutusan Gereja di dunia, dengan beberapa
alasan. Makin majunya peradaban manusia
dan hubungan-hubungan antar manusia , dengan masalah-masalah baru yang
ditimbulkannya yang mau tidak mau terkait dengan kehidupan, adalah salah satu
alasannya. Di banyak daerah jumlah
imamnya sedikit sehingga tanpa peran awam, Gereja tidak bisa hadir dan aktif.
Di sini, awam menyatu
dengan perutusan Gereja dan tak terpisahkan dengan seluruh Gereja (sentire cum
ecclesia), dengan perannya yang khas: pembaharuan tata dunia secara
kristiani (bdk Lumen Gentium No. 31) “consecratio
mundi”= pengudusan dunia. Dari perspektif Injili mengarahkan manusia dan
dunianya untuk menghayati nilai tertinggi yang sudah ditanamkan oleh Allah
Pencipta. Di tengah dan bersama warga
masyarakat memperbaharui tatanan hidup ini dan diselaraskan dengan asas-asas
hidup kristiani
2. I
Panggilan Kaum Awam; Sebuah Langkah Pencerahan
Setiap orang yang pernah dibaptis memiliki tugas dalam kerajaan
Allah. Bagi kaum awam, tugas ini pada umumnya dilaksanakan di dalam dunia.
‘Dunia’ yang dimaksud di sini berarti rumah, kerja, dan masyarakat dalam
relasinya yang pluralistik. Setiap orang dituntut untuk dapat bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuan sebagai
rahmat yang diperoleh untuk menghadirkan kerajaan melalui tindakan Roh
Kudus. Karena itu, imam mesti menolong
kaum awam agar dapat menyadari peran mereka sebagai pembawa kerajaan yang
dimaklumkkan oleh Yesus Kristus kepada dunia di mana seseorang tinggal dan
bekerja. Di sini, sebetulnya kaum awam adalah pewarta-pewarta Injil utama.
Konsep
ini menjadi begitu penting pada masa kini ketika ada tendensi untuk melihat
kaum awam sebagai pihak yang mencurahkan perhatian pada pelayanan-pelayanan di
dalam Gereja. Kendati semua pelayanan itu penting bagi hidup Gereja dan karena
itu didukung, semua pelayanan ini bukan merupakan tugas primer kaum awam; kaum
awam yang terlibat dalam pelayanan yang seperti itu adalah pengecualian dan
memiliki jumlah yang sangat terbatas bila kita melihat misi untuk semua anggota
Gereja secara umum. Bukan tugas imam untuk
mengandaikan peran awan seperti ini di dalam dunia. Tugas imam adalah
mendorong dan mengajar kaum awam dan bukan menanggalkan peran-peran itu dari
mereka. Adalah suatu keputusan yang amat bijaksana bagi seorang imam untuk
mengatakan bahwa ia tidak termasuk dalam garis demonstran; ia tidak boleh
merasa bersalah kalau ia membiarkan kaum awam melaksanakan tugas pelayanannya
bagi dunia. Karena itu, paroki perlu bersikap sportif terhadap peran-peran kaum
awam di tengah dunia.
2. 2 Awam Versus Klerus; Harga Sebuah Iman
Selama berabat-abat tempat para imam dalam gereja adalah
sebagai anggota klerus yang bertugas memelihara kaum awam Kristen. Penemuan
Konsili Vatikan II mengenai potensi baptisan mempersoalkan distingsi klasik
ini. Untuk menjadi seorang dewasa yang religius, seorang yang pernah dibaptis
harus ‘melaksanakan’ imannya. Untuk menjadi matang dan dewasa secara penuh
dalam Yesus Kristus, maka kaum awam Kristen harus berbuat lebih daripada hanya
sekedar mengakui keyakinan agama yang dianuti.
Mereka harus mampu mengungkapkan iman mereka dalam
perbuatan-perbuatan cinta dan keadilan.
Kebutuhan dan kematangan seperti ini menjadikan kaum klerus sebagai pelayan. Namun,
sebagai pelayan kaum awan juga mesti dilibatkan dalam artian bahwa segala tugas
yang dahulunya hanya diembankan kepada kaum klerus mesti juga diikutsertakan
kaum awam untuk mengambil bagian dalam tugas-tugas tersebut. Misalnya saja kaum
awan diberi kuasa untuk mengajar agama, mengunjungi orang sakit, menyiapkan
orang untuk menerima sakramen inisiasi dan perkawinan, dan bahkan berkhotbah.
Masa kini adalah waktu yang tepat untuk bekerja sama dalam
pelayanan. Distingsi-distingsi masa lampau yang secara saksama menjelaskan umat
beriman dengan tugas serta peran masing-masing dirasa tidak cocok lagi. Dalam tugas pelayanan dewasa ini, orang sudah
melintasi sekat-sekat yang memisahkan klerus dari awam. Ada banyak faktor yang
menjadi landasan yang cukup mendasar perlunya sebuah kerja sama. Sebut
saja, jumlah imam yang terus berkurang
berdampak pada meningkatnya komleksitas problem seputar pelayanan pastoral.
Eklesiologi
dewasa ini menekankan bahwa pelayanan sebagai suatu tindakan pemberian Roh
kepada Gereja bukanlah tugas yang mesti dijalankan sendirian. Berdasarkan pengalaman
pribadinya, para pemimpin Gereja menegaskan pentingnya kerja sama antara kaum
klerus dengan kaum awan. Dengan begitu, relasi kekerabatan dijalin, kemudahan dalam meyelesaikan suatu tugas, dan
umat lebih merasa terlibat dalam kehidupan menggereja.
2.
3 Klerus Versus Awam; Antara Jabatan Imamat
dan Imamat Bersama
Anggota Gereja terdiri dari kaum tertahbis (klerus) dan awam.
Oleh Pembaptisan, umat manusia (baik awam maupun kaum klerus) sebenarnya
mengambil bagian dalam misi Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Tentang misi
sebagai imam, kaum awam mengambil bagian dalam ‘imamat bersama’. Dalam
katekismus diajarkan bahwa orang yang
sudah dibaptis menjadi “batu hidup” yang dipergunakan untuk membangun “rumah
rohani” dan “imamat kudus” (1 Ptr 2:5). Oleh Pembaptisan mereka mengambil
bagian dalam imamat Kristus, dalam perutusan-Nya sebagai nabi dan raja. Mereka
adalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat
kepunyaan Allah sendiri, supaya [mereka]memberitakan perbuatan-perbuatan yang
besar dari Dia, yang telah memanggil (mereka)keluar dari kegelapan kepada
terang-Nya yang ajaib” (1 Ptr 2:9). Dengan demikian, Pembaptisan memberi bagian
dalam imamat bersama umat beriman.
Sedangkan peran imam tertahbis adalah imam jabatan, yaitu
sejumlah orang yang menerima tahbisan khusus untuk menggembalakan Gereja.Imamat
jabatan ini melayani imamat bersama. Katekismus mengajarkan bahwa tahbisan
adalah Sakramen, yang olehnya perutusan yang dipercayakan Kristus kepada
Rasul-rasul-Nya, dilanjutkan di dalam Gereja sampai akhir zaman. Dengan
demikian ia adalah Sakramen pelayanan apostolik. Ia mencakup tiga tahap: episkopat,
presbiterat dan diakonat.
Imamat jabatan atau
hierarkis para Uskup serta imam dan imamat bersama semua orang beriman “atas
caranya yang khas mengambil bagian dalam imamat Kristus” dan “diarahkan satu
kepada yang lain”, walaupun “berbeda dalam kodratnya” (bdk Lumen Gentium
No.10). Mengapa ? Sebab imamat bersama umat beriman terlaksana dalam
pengembangan rahmat Pembaptisan; dalam penghayatan iman, harapan dan cinta;
dalam hidup sesuai dengan Roh Kudus; imamat jabatan itu ada untuk melayani
imamat bersama ini. Ia berhubungan dengan pengembangan rahmat pembaptisan semua
orang Kristen. Ia adalah salah satu sarana, yang olehnya Kristus secara
berkesinambungan membangun dan membimbing Gereja-Nya. Oleh karena itu, ia
diterimakan oleh suatu Sakramen tersendiri, oleh Sakramen Tahbisan.
Maka memang secara khusus melalui partisipasi dalam sakramen
Ekaristi, umat beriman menjalankan peran imamat bersama, namun partisipasi itu
dimungkinkan oleh pelayanan imamat jabatan.Dari prinsip ini maka, memang yang
berwewenang untuk mempersembahkan perayaan Ekaristi adalah para imam dan Uskup,
yang merupakan penerus para Rasul.Dan dengan demikian tugas membagikan Komuni,
adalah pertama-tama tugas para tertahbis, yaitu Uskup, imam dan diakon
tertahbis. Namun adakalanya, terdapat keadaan khusus (misalnya jumlah umat yang
terlalu banyak), maka dibutuhkan pelayan-pelayan Komuni tak lazim (awam) untuk
membantu para klerus tersebut.
Maka Jabatan- jabatan
yang semata- mata pelengkap ini jangan dipergunakan untuk menjatuhkan pelayanan
asli terhadap para Imam dengan cara sedemikian rupa, sehingga para imam lalai
merayakan misa untuk umat yang menjadi tanggung jawab mereka, ataupun
melalaikan kepedulian terhadap orang sakit, atau pembaptisan anak-anak atau
asistensi pada perkawinan atau pelaksanaan penguburan Kristiani: semuanya itu
termasuk tugas inti para imam, didampingi para diakon. Karena itu tidak boleh
terjadi bahwa di paroki-paroki para Imam menukar pelayanan pastoral dengan para
Diakon atau orang awam, dan dengan demikian mengaburkan apa yang menjadi tugas
masing-masing.
3. AWAM DALAM HUBUNGANNYA DENGAN HIERARKI
Hirarki wajib mendukung kerasulan awam, menggariskan
prinsip-prinsipnya dan menyediakan bantuan-bantuan rohani, mengatur pelaksanaan
kerasulan serta pelayanan demi kesejahteraan Gereja, dan menjaga supaya ajaran
serta tata-tertib Gereja tetap di patuhi. Adapun kerasulan awam mengenal pelbagai cara
berhubungan dengan Hirarki, sesuai dengan pelbagai bentuk serta sasaran
kerasulan itu. Sebab dalam gereja terdapat amat banyak usaha kerasulan, yang
terwujudkan atas pilihan bebas kaum awam, dan yang kepemimpinannya berlangsung
atas kebijaksanaan serta kearifan mereka. Berkat usaha-usaha itu perutusan
Gereja di berbagai situasi dapat terlaksana dengan lebih baik; maka tidak
jarang usaha-usaha itu di puji dan dianjurkan oleh Hirarki. Tetapi suatu usaha
hanya boleh menggunakan nama “katolik”, bila mendapat persetujuan pimpinan
Gereja yang sah. Berbagai bentuk kerasulan awam dengan berbagai cara pula
diakui secara eksplisit oleh Hirarki.
Selain itu, untuk menanggapi tuntutan-tuntutan kesejahteraan
Gereja, Pimpinan Gereja dapat memilih beberapa diantara persekutuan-persekutuan
dan usaha-usaha kerasulan yang secara langsung bertujuan rohani, secara
istimewa mengembangkannya, dan mengambil tanggung jawab khusus
terhadapnya. Begitulah Hirarki dengan
aneka cara mengatur kerasulan untuk menanggapi berbagai keadaan. Bentuk-bentuk
kerasulan tertentu dihubungkannya secara lebih erat dengan tugas kerasulannya
sendiri.Tetapi hakekat kerasulan masing-masing serta perbedaan antara keduanya
dipertahankan, dan karena itu kesempatan yang diperlukan oleh kaum awam untuk
bergerak secara suka rela tidak ditiadakan.Tindakan hirarki itu dalam berbagai
dokumen gereja disebut “mandat”.
Kemudian Hirarki juga mempercayakan kepada kaum awam berbagai
tugas, yang lebih erat berhubungan dengan
tugas-tugas para gembala, misalnya dibidang pengajaran kristiani, dalam
berbagai upacara liturgi, dalam reksa pastoral. Berdasarkan perutusan itu dalam
pelaksanaan tugas mereka para awam wajib mematuhi sepenuhnya Pimpinan Gereja
yang lebih tinggi.
Berkenaan dengan
usaha-usaha dan lembaga-lembaga yang menyelenggarakan urusan-urusan duniawi,
tugas Hirarki Gereja yakni mengajarkan
dan menafsirkan secara otentik
kaidah-kaidah moral mengenai pelaksanaan hal-hal keduniawian itu.
Merupakan wewenang Hirarki juga: dengan mempertimbangkan segalanya masak-masak
dan memanfaatkan bantuan para pakar, menilai seberapa jauh usaha-usaha dan
lembaga-lembaga semacam itu sesuai dengan kaidah-kaidah moral, serta menetapkan
mengenai semua apa yang diperlukan, untuk menjaga dan mengembangkan
harta-kekayaan adikodrati.
4. CONTOH
KASUS DAN BEBERAPA TANGGAPAN
4.
1 Gereja Amerika dan Reformasi Gereja
Sejarah Amerika merupakan suatu rangkaian dari adaptasi dan
readaptasi kepada dunia yang baru dengan kondisi-kondisi baru dan dengan
perubahan-perubahan yang terus-menerus terjadi. Gereja-gereja di Amerika adalah
gereja-gereja Eropa yang dipindahtanamkan dalam tanah baru dengan keadaan
sekeliling yang baru. Dalam proses ini Amerika memperkembangkan gereja corak
baru. Sejak datangnya pendatang- pendatang baru, terutama gelombang-gelombang
besar pendatang baru pada abad-19, proses itu berjalan terus. Hasilnya ialah
munculnya gereja- gereja parokhial yang berpemerintahan sendiri yang khas
Amerika, dengan pengawasan dan partisipasi yang lebih besar dari kaum
awam.Dengan prinsip yang sangat dipegang teguh, yakni prinsip kemerdekaan
beragama dan pemisahan antara gereja dengan negara, gereja dianggap sebagai
perkumpulan sukarela dari orang-orang yang diselamatkan dan sebagai suatu institut
untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dengan jalan menyelamatkan
perorangan-perorangan. Urbanisasi telah memaksa gereja mencari dan melayani
segala macam orang dan golongan, dan gereja-gereja itu cenderung untuk
memperkuat persekutuan batiniah dari gereja setempat. Pelayanan oleh kaum awam
telah makin maju karena perkembangan ini.
Kalau kita bandingkan kehidupan gereja di Eropa dengan
Amerika, kita lebih cenderung untuk berkata bahwa struktur dan suasana di dalam
gereja-gereja Eropa tidak memberi banyak dorongan kepada inisiatif- inisiatif
kaum awam.Di Amerika sebaliknyalah yang terjadi. Di Amerika, bukannya hasil
pemikiran-pemikiran teoritis yang menghasilkan keadaan seperti itu, melainkan
hasil pertimbangan-pertimbangan pragmatis, yaitu bahwa kegunaan gereja sebagai
institut yang efektif tergantung hampir sepenuhnya pada kesediaan kaum awam
untuk melibatkan dirinya.
4. 2
Gereja Protestan dan Reformasi Luther
Pikiran-pikiran pokok dari Reformasi memberi kemungkinan
untuk perubahan-perubahan radikal dalam seluruh konsep dan tempat kaum awam.
Pada saat yang menentukan, karena kepatuhan kepada Firman Allah, Martin Luther
menolak untuk patuh kepada gereja yang terjelma dalam kekuasaan hirarkis Paus.
Konsep Luther tentang gereja, terutama dalam tulisan- tulisan militannya yang
terdahulu, adalah suatu serangan frontal terhadap konsep gereja hirarkis. Faham
tentang pejabat gereja yang hirarkis juga ditolak.Secara prinsip perbedaan
antara "kaum klerus" dan "kaum awam" tidak ada lagi.
Dalam manifestonya kepada kaum bangsawan Kristen ia
mengumumkan, "Semua orang Kristen adalah benar-benar imam, tak ada
perbedaan di antara mereka kecuali dalam hal jabatan .... Setiap orang yang
sudah dibaptis dapat berkata bahwa ia sudah ditahbiskan menjadi imam, uskup
atau paus." Hanya demi ketertiban, orang-orang tertentu dipisahkan oleh
jemaat, mereka adalah "pelayan-pelayan", bukan imam-imam dalam arti
budaya, orang-orang perantara antara Allah dan jemaat atau antara Allah dan
manusia, tapi "pelayan-pelayan Firman" (verbi divini ministri). Pada
prinsipnya, pelayanan yang diartikan secara baru ini (mengajar dan berkhotbah,
membaptiskan, melayani Perjamuan Kudus, mengikat dan melepaskan dosa, berdoa
syafaat, mempertimbangkan ajaran dan membeda-bedakan roh) adalah hak setiap
orang Kristen yang telah dibaptis.Ini berarti imamat orang-orang yang percaya
atau, seperti biasa disebut, "imamat am" adalah semua orang yang
percaya.Sejak itu prinsip ini selalu disertai oleh hukum "sola
gratia", "sola scriptura".Kedua prinsip ini sudah menjadi prinsip
besar resmi dari Reformasi dan khususnya Protestantisme.
Dalam faham-faham yang militan ini terdapat benih-benih
individualisme dan equalitarianisme yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
pandangan Alkitab, yaitu "imamat yang berkerajaan", yang adalah milik
semua orang percaya secara keseluruhan.
Militansi dan pernyataan yang nampaknya berlebih-lebihan ini dapat
dimengerti melihat kenyataan bahwa pada waktu itu Luther harus berjuang melawan
sistem hirarki yang luar biasa, faham hirarki yang sudah tertanam sangat dalam
di pikiran orang sejak berabad-abad. Faham seperti itulah yang hendak
digugatnya di hadapan forum faham Alkitab mengenai gereja beserta anggota-
anggotanya.Implikasi dari serangan-serangannya itu ialah penghapusan semua
klerikalisme dan pemulihan tempat yang sewajarnya bagi kaum awam.
Tapi, secara jujur harus disebut di sini bahwa konsep baru
tentang gereja dan pemulihan tempat kaum awam tidak pernah menjadi pokok-pokok
yang dominan. Prinsip yang banyak digembar-gemborkan tentang "imamat am semua
orang percaya" mempunyai akibat-akibat tertentu yang sangat menarik dalam
Dunia Baru, tapi pada umumnya di Dunia Lama hal ini tak pernah punya efek
apa-apa. Sampai sekarang prinsip itu hanya punya peranan sebagai bendera, bukan
prinsip yang memberi hidup dan kekuatan.Sudah tentu, sejak Reformasi dan
lahirnya banyak macam gereja sebagai akibatnya, pandangan eklesiastik hirarkis
tentang gereja tidak pernah lagi mendapat tempat yang tidak dapat diganggu-
gugat seperti sebelumnya.Panggilan untuk membenarkan setiap doktrin gereja dan
tugas anggota-anggotanya berdasarkan Alkitab, tak pernah lagi diabaikan seperti
sebelumnya.Dasar etika Calvinisme tentang orang-orang awam yang harus
membuktikan bahwa mereka adalah orang- orang yang sudah dipilih Allah dengan bekerja
sepenuh hati, adalah akibat dari prinsip "imamat am semua orang
percaya". Juga tak dapat disangkal bahwa prinsip ini, terutama pada abad-19
di bawah pengaruh faham liberalistis-individualistis, sudah lebih merupakan
kata-kata muluk teologis untuk faham modern pada waktu itu, dari pada sumber
kekuatan rohani yang mengubah gereja.
5.
AWAM YANG MELAYANI; SEBUAH SOLUSI KONSTRUKTIF
Kristus yang diutus oleh Bapa menjadi sumber dan asal seluruh
kerasulan Gereja. Maka jelaslah kesuburan pelayanan awam tergantung dari
persatuan mereka dengan Kristus yang memang perlu untuk hidup, menurut sabda
Tuhan: “Barang siapa tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia, ia menghasilkan buah
banyak, sebab tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Kehidupan
dalam persatuan mesra dengan Kristus itu dalam Gereja dipupuk dengan
bantuan-bantuan rohani, yang diperuntukkan bagi semua orang beriman, terutama
dengan keikut-sertaan aktif dalam liturgi suci. Upaya-upaya itu hendaknya
digunakan oleh para awam sedemikian rupa, sehingga mereka sementara menunaikan
dengan saksama tugas-tugas duniawi dalam keadaan hidup yang serba biasa, -
tidak menceraikan persatuan dengan Kristus dari hidup mereka, melainkan sambil
melaksanakan tugas menurut kehendak Allah, tetap berkembang dalam persatuan
itu. Melalui jalan itu kaum awam harus maju dalam kesucian dengan hati riang
gembira, sementara mereka berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dengan
bijaksana dan sabar. Baik tugas-pekerjaan dalam keluarga maupun urusan-urusan keduniaan lainnya jangan sampai menjadi asing
terhadap cara hidup rohani, menurut amanat Rasul: “Apa pun yang kamu lakukan
dalam kata-kata maupun perbuatan, itu semua harus kamu jalankan atas nama Tuhan
Yesus Kristus, sambil bersyukur kepada Allah dan Bapa kita melalui Dia” (Kol
3:17). Hidup seperti itu menuntut perwujudan iman, harapan dan cinta kasih,
yang tiada hentinya.
Hanya dalam cahaya
iman dan berkat renungan sabda Allah manusia dapat selalu dan di mana-mana
mengenal Allah, - “kita hidup dan bergerak dan berada” dalam Dia (Kis 17:28), -
dalam segala peristiwa mencari kehendak-Nya, memandang Kristus dalam semua
orang, entah mereka termasuk kaum kerabat entah tidak, mempertimbangkan dengan
cermat makna serta nilai hal-hal duniawi yang sesungguhnya, dalam dirinya maupun
sehubungan dengan tujuan manusia.
Barang siapa mempunyai
iman itu, hidup dalam harapan akan penampakan putera-putera Allah, sambil
mengenangkan salib dan kebangkitan Tuhan. Dalam perantauan hidup ini,
tersembunyi bersama Kristus dalam Allah dan dibebaskan dari perbudakan
kekayaan, sementara mencari harta yang kekal abadi, mereka dengan kebesaran
jiwa membaktikan diri seutuhnya untuk meluaskan kerajaan Allah dan untuk
merasuki dan menyempurnakan tata-dunia ini dengan semangat kristiani. Ditengah
kemalangan hidup ini mereka menemukan kekuatan dalam harapan, sementara
berpandangan bahwa “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan
dengan kemuliaan di masa mendatang yang akan dinyatakan dalam diri kita”.
Corak hidup rohani kaum awam itu harus memperoleh ciri khusus
berdasarkan status pernikahan dan hidup berkeluarga, selibat atau hidup
menjanda, dari keadaan sakit, kegiatan profesi dan sosial.Oleh karena itu
janganlah mereka berhenti memupuk dengan tekun sifat-sifat dan
keutamaan-keutamaan sesuai dengan keadaan-keadaan itu yang telah mereka terima,
dan mengamalkan kurnia-kurnia yang telah mereka terima dari Roh Kudus.
Selain itu para awam, yang mengikuti panggilan mereka telah
masuk anggota salah satu perserikatan atau lembaga yang telah disahkan oleh
Gereja, begitu pula berusaha mengenakan dengan setia corak hidup rohaninya yang
istimewa. Hendaknya mereka menjunjung tinggi juga kemahiran kejuruan, citarasa
kekeluargaan dan kewarganegaraan, maupun keutamaan-keutamaan yang termasuk
hidup kemasyarakatan sehari-hari, yakni: kejujuran, semangat keadilan,
ketulusan hati, peri-kemanusiaan, keteguhan jiwa, yang memang amat perlu juga
bagi hidup kristiani yang sejati.
Suri teladan yang sempurna bagi hidup rohani dan hidup
merasul itu ialah Santa Perawan Maria, Ratu para Rasul. Selama di dunia ia
menjalani hidup kebanyakan orang, penuh kesibukan keluarga, dan jerih payah,
tetapi selalu mesra bersatu dengan Putera-Nya dan dengan cara yang sangat
istimewa ia bekerja sama dengan karya Sang Penyelamat. Tetapi sekarang ia telah
diangkat ke sorga, dan “dengan cinta kasih keibuannya ia memperhatikan
saudara-saudara Puteranya, yang masih dalam peziarahan dan menghadapi
bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran, sampai mereka mencapai tanah air yang
penuh kebahagiaan”. Hendaknya semua saja penuh khidmat berbakti kepadanya, dan
menyerahkan hidup serta kerasulan mereka kepada perhatiannya yang penuh rasa
keibuan.
6.
PENUTUP
Selama
masa pengabdian tahun pertama, Paus Fransiskus berulang kali melabrak
‘klerikalisme’ yang kerap kali terjadi dalam tubuh Gereja. Bahkan Paus
Fransiskus secara terang-terangan mengecam para imam yang tidak menjaga
kesucian imamat, atau justru memanfaatkan rahmat tahbisan untuk memperoleh hak-hak istimewa. Kendati
demikian, Kaum klerus tentu saja tidak dapat dihilangkan dari gereja. Mereka,
juga seperti umat, adalah fondasi pembangun gereja. Tapi, kemudian menjadi
klerikalisme atau diformulasikan secara berlebihan, menjadi suatu paham, maka
kita akan menjumpai berbagai akibat negative yang bisa terjadi.
Oleh karena itu, klerikalisme
hanya dapat ditepis apabila awam secara aktif turut berpartisipasi dalam
kehidupan Gereja. Seorang awam tidak boleh melihat rahmat tahbisan kaum klerus
sebagai batu sandungan yang membungkam kebebasan umat awam dalam mengekspresikan
sesuatu yang imanen. Pada titik ini,
umat perlu belajar dari sejarah, yaitu reformasi. Itu terjadi karena kekuasaan
kaum klerus yang terlampau besar, sehingga aspek spiritual kian tersingkir.
DAFTAR
PUSTAKA
Boumans, Nicolaas Josef.
2007. Madah pujian bagi sabda Allah. Ende:
Nusa
Indah
Goergen, Donald. 2003. Imam
Masa Kini. Maumere: Ledalero
Kleden,
Paulus. 2002. Aku yang Solider, Aku dalam Hidup Berkaul. Maumere:
Ledalero
Shahrad,
Cyrus. 2006. Rahasia-Rahasia Vatikan. Jakarta: Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar